“Bukan THRIFTING yang membunuh UMKM, tapi pakaian impor China…..”

Tulisan pada spanduk yang terpampang di depan Plaza Metro Atom, Pasar Baru, Jakarta Pusat, itu merespons pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang pakaian bekas. Pada 15 Maret 2023, Jokowi meminta impor pakaian bekas ke Indonesia disetop karena sangat mengganggu industri tekstil dalam negeri, khususnya UMKM. 

Selain Jokowi, Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan juga menegaskan larangan mengimpor pakaian bekas ke Indonesia. Alasan yang diungkapkan oleh Zulkifli berbeda dengan Jokowi, yakni yakni pakaian bekas membawa risiko menularkan penyakit. 

Plaza Metro Atom, khususnya di lantai 3, merupakan salah satu bursa pakaian bekas di Jakarta. Di sini, Anda dapat menemui berbagai pakaian bekas mulai dari blazer, jaket olahraga, celana, rok, sepatu, kemeja, dan tas. 

Selain Plaza Metro Atom, pasar pakaian bekas dapat ditemui di Senen, Jakarta Pusat. Bahkan, Pasar Senen atau yang dikenal dengan “pasar awul-awul” sudah menjadi sentra pakaian bekas sejak 1990an. 

Blok III Pasar Senen juga menjadi salah satu gudang pakaian bekas. Setelah Jokowi menegaskan larangan impor pakaian bekas, Bareskrim Polri menggerebek gudang pakaian bekas ini. 

Keberadaan pakaian bekas di Senen menunjukkan bahwa pakaian bekas memang sudah memiliki targetnya sejak bertahun-tahun lalu. Dahulu, setiap Rabu atau Kamis dikenal sebagai hari para pedagang di Pasar Senen membuka ballpress pakaian bekas. Pembeli pun siap mencari pakaian dengan merek ternama yang masih layak pakai dari tumpukan pakaian bekas tersebut. 

Belakangan, pembeli tidak perlu mencari pakaian dari tumpukan ballpress yang baru dibuka karena penjual sudah memilah pakaian layak pakai. Bahkan, pakaian-pakaian dalam kondisi baik akan digantung. Dari Pasar Senen, bisnis pakaian bekas merembet ke Pasar Baru. 

Beberapa tahun belakangan, bisnis pakaian bekas masuk ke media sosial. Tidak hanya itu, bisnis pakaian bekas dilabeli sebagai thrifting yang merujuk pada sebuah gerakan yang berupaya melawan bisnis pakaian cepat atau fast fashion

Fast Fashion Vs Thrifting

Good Housekeeping Institute (2023) menyebutkan fast fashion adalah memproduksi pakaian murah dan trendi dalam volume tinggi. Idenya adalah membawa pakaian ke tangan konsumen segera setelah barang menjadi tren; kemudian konsumen hanya memakai barang tersebut beberapa kali sebelum membuangnya.

Earth.org menyebutkan 92 juta ton dari 100 miliar garmen yang diproduksi berakhir di tempat pembuangan sampah. Jumlah limbah fast fashion diperkirakan akan melonjak hingga 134 juta ton per tahun pada akhir dekade ini.

Praktik tersebut menunjukkan bahwa industri pakaian menerapkan ekonomi linear, yakni industri mengubah sumber daya alam menjadi produk yang berakhir menjadi sampah. Taylor Brydges (2021) menyebut proses ini sebagai take, make, & waste. Niinimäki dkk. (2020) menjelaskan proses ini dalam konteks lokasi geografis, yakni sebagian besar produksi serat dan manufaktur garmen terjadi di negara berkembang, sedangkan konsumsi pakaian biasanya terjadi di negara maju. 

Setidaknya, setiap orang di negara Eropa seperti Italia, Jerman, Inggris, Denmark, Swedia, Norwegia, dan Finlandia membeli 13-26,7 kilogram tekstil per tahun. Bukan hanya soal sampah, Niinimäki dan rekan-rekannya juga menjelaskan dampak industri fast fashion terhadap penggunaan air, emisi CO2, dan polusi. Industri fast fashion menggunakan air dalam jumlah besar dalam berbagai rantai pasoknya, yakni mulai dari pengambilan serat dari alam, produksi serat sintetis, produksi benang, produksi kain, hingga ke penjualan di toko.

Mereka memperkirakan produksi global sebesar 2,9 Gt emisi setara CO2, dua pertiganya terkait dengan bahan sintetis selama produksi serat, manufaktur tekstil, dan konstruksi garmen. Selain itu, industri manufaktur tekstil menggunakan bahan kimia yang memunculkan kekhawatiran terhadap kesehatan manusia.

Karena itu, banyak pihak mendorong adanya praktik ekonomi sirkuler, yakni model produksi dan konsumsi yang memastikan produk tidak langsung berakhir di sampah, tetapi dapat digunakan kembali selama mungkin melalui berbagi, menyewa, menggunakan kembali (reuse), memperbaiki, dan mendaur ulang. Menurut Brydges, tujuan ekonomi sirkuler, yakni memaksimalkan efisiensi sumber daya dan meminimalisasi sampah, akan membantu industri pakaian menjadi industri yang ramah lingkungan dan mengurangi sampah. 

Thrifting menjadi salah satu gerakan dalam ekonomi sirkuler. JK Rajjo Ronobir (2020) menjelaskan thrifting adalah berbelanja di toko barang bekas, garage sale, atau pasar loak di mana orang akan menemukan barang-barang bekas dengan harga diskon. Cara ini dianggap ramah lingkungan dalam konsumsi pakaian karena pakaian yang dibeli adalah pakaian yang sudah pernah dikenakan dan kemudian dijual kembali.

Jika menilik penjelasan di atas, thrifting sebenarnya tidak hanya terkait dengan pakaian bekas impor. Ketika Anda membeli pakaian bekas yang dijual oleh sesama orang Indonesia maka Anda juga sedang melakukan thrifting.

Kendati demikian, berbelanja pakaian bekas impor menjadi aktivitas dominan dalam thrifting di Indonesia. Thrifting di Indonesia hanya diasosiasikan berbelanja pakaian bekas impor lantaran praktik berbelanja pakaian bekas sudah ada sejak lama dan gerakan thrifting sedang menjadi sebuah tren global. 

Sebagai sebuah tren, thrifting diadopsi banyak kalangan, khususnya anak muda dari berbagai status sosial. Ranobir menjelaskan adanya pergeseran konsumsi pakaian bekas di Amerika Serikat. Dahulu, toko thrift di Amerika Serikat hanya melayani orang yang membutuhkan pakaian dalam harga terjangkau. Bahkan, tidak jarang orang yang mengenakan pakaian bekas ini mendapatkan celaan. Namun, tren thrift mendorong adanya gentrifikasi karena adanya anak muda kaya yang membeli pakaian bekas. 

Menurut Ranobir, pergeseran konsumsi pakaian bekas ini karena adanya resesi ekonomi, perubahan iklim, dan media sosial. Anak muda mengenakan pakaian bekas dapat menjadi unggahan yang manis di media sosial.

Dilansir dari The National News, pasar barang bekas online ThredUp melaporkan industri barang bekas mencatat penjualan global sebesar 177 miliar dolar AS tahun lalu seiring makin banyaknya orang yang membeli pakaian, sepatu, dan aksesoris bekas. Angka itu menunjukkan peningkatan 28 persen dibandingkan tahun 2021. 

Laporan ThredUp, yang mengandalkan penelitian dan data dari perusahaan analitik ritel pihak ketiga GlobalData, memprediksi penjualan global industri barang bekas akan meningkat menjadi 351 dolar AS pada 2027. 

REFERENSI

1. Brydges, Taylor. “Closing the loop on take, make, waste: Investigating circular economy practices in the Swedish fashion industry.” Journal of Cleaner Production 293 (2021): 126245.
Good Housekeeping. What Is Fast Fashion? How It’s Destroying the Environment https://www.goodhousekeeping.com/beauty/fashion/a39662653/fast-fashion-definition/ 

2, Niinimäki, Kirsi, Greg Peters, Helena Dahlbo, Patsy Perry, Timo Rissanen, and Alison Gwilt. “The environmental price of fast fashion.” Nature Reviews Earth & Environment 1, no. 4 (2020): 189-200.
Ronobir, JK Rajjo, Ryan Curran, Aarushi Kaushal, and Rehan Yazdani. “The socioeconomic causes and effects of the gentrified thrifting experience.” The Fixerunt Movement Journal 1, no 1 (2020): 48-56.
The National News. Second-hand shopping receives boost from rising inflationhttps://www.thenationalnews.com/business/2023/04/07/second-hand-shopping-receives-boost-from-rising-inflation/ 

3. Youtube Sekretariat Presiden. Keterangan Pers Presiden Jokowi Usai Buka Business Matching Produk Dalam Negeri, 15 Maret 2023https://www.youtube.com/watch?v=c-2QaolTFY4


Eksplorasi konten lain dari Ekosentris.id

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

3 tanggapan untuk “Thrifting yang Kerap Disalahpahami”

  1. […] Thrifting telah dikenal sebagai salah satu cara untuk mengonsumsi pakaian ramah lingkungan. Essi Vesterinen dan Henna Syrjälä (2022) yang melakukan tinjauan literatur sistematis berkaitan dengan anti-konsumsi pakaian mengatakan bahwa konsumsi pakaian bekas seperti thrifting merupakan salah taktik yang menunjukan konsumsi pakaian kolaboratif (collaborative fashion consumption atau CFC).  […]

    Suka

  2. […] dari produksi jeans mode cepat. Pertama, perdagangan jeans bekas. Peneliti menemukan bahwa praktik thrifting berpotensi mengurangi jejak karbon hingga […]

    Suka

  3. […] membeli lebih sedikit, memperbaiki baju lama, thrifting, membeli dari produsen lokal, menyewa baju untuk acara tertentu, atau memilih bahan yang tahan […]

    Suka

Tinggalkan komentar

Eksplorasi konten lain dari Ekosentris.id

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca