April tahun lalu, saya berkendara membawa tiga kantong sampah dan dua boks kardus besar berisi sampah anorganik. Sepintas memang sepertinya ini tidak banyak. Walau mobil saya jadi lebih mirip truk sampah, tentu minus bau, karena yang dibawa bukan sampah basah. Dari rumah saya di Kota Wisata Cibubur, saya memasuki tol Nagrak keluar pintu tol dan langsung berbelok ke mal Cibubur Junction.
Tujuan saya sesungguhnya bukan mall itu, tetapi drop point Recycle for Goods yang berdiri di dekat pintu timur Cibubur Junction. Bangunan kuning yang mulai beroperasi pada Maret 2023 itu menerima sampah anogranik kering dan terpilah. Hari itu, saya menyetorkan sampah anorganik yang dihasilkan keluarga kami selama sebulan dalam kondisi terpilah.
Setelah ditimbang, banyaknya mencapai 2,2 kilogram sampah kertas, 2,5 kilogram sampah plastik, 0,55 kilogram sampah aluminium, 0,5 kilogram sampah Styrofoam, dan 0,6 kilogram sampah kemasan karton bekas (tetrapack dan sejenisnya). Dari berat sampah yang saya setorkan itu, progam ini memberikan saya 5.265 poin yang langsung masuk ke akun saya di aplikasi Recycle for Goods.
Tiap jenis sampah yang disetorkan memiliki nilai poin yang berbeda. Kemasan karton dan kemasan minyak jelantah mendapatkan poin terbesar masing masing 2.000 dan 2.200 poin per kilogramnya. Sementara plastik bernilai 1.000 poin per kilogramnya. Ada pun Styrofoam memperoleh poin terendah yaitu 30 poin per kilogram.
Ini adalah kali ketiga saya menyetorkan sampah ke program yang diinisiasi SIG dan SIG Foundation. Di aplikasi saya, total poin yang sudah saya kumpulkan dengan menyetor sampah mencapai 8.195. Poin ini bisa ditukar dengan hadiah dari antara lain teh kotak (1.950 poin), Nescafe (2,450), kara santan (5,450). Jika mencapai 9.000 poin, saya bisa menukarkan poin dengan seliter susu sapi Diamond. Karena itu saya memilih untuk menunda penukaran poin.
Program bernama Recycle for Goods ini diluncurkan pada awal Maret lalu oleh SIG Group—perusahaan pengemasan yang berbasis di Swiss dan berdiri sejak 1853. Program ini merupakan proyek pilot SIG. Jika dianggap sukses, drop point lain akan dibangun. Bukan hanya di Jakarta dan sekitarnya, tetapi di berbagai kota-kota besar di Asia Tenggara.
Asia Tenggara kini merupakan kawasan penghasil polusi plastik terbesar di dunia. Urbanisasi yang masif, pertumbuhan kelas menengah, dan masih rendahnya infrastruktur pengelolaan limbah menjadi beberapa penyebabnya.
Penelitian Meijer et.al yang dipublikasikan dalam Science Advances pada 30 April 2021,menyebutkan bahwa enam dari 10 negara yang berkontribusi atas kebocoran sampah plastik terbesar ke sungai dan lautan berada di Asia Tenggara. Indonesia berada di peringkat lima dengan kebocoran sampah plastik ke laut dan sungai mencapai 56.333 ton per tahunnya menurut penelitian tersebut.
Sampah plastik yang terbuang ke sungai atau laut, akan termakan ikan. Jika ikan-ikan ini dikonsumsi oleh manusia, kandungan mikroplastik, dalam ikan akan berpindah ke manusia. Mikroplastik adalah partikel kecil yang dapat menyebabkan kerusakan sel manusia dan mengubah genetika.
Terlepas dari ancaman mikroplastik, dorongan untuk memilah sampah ini sebenarnya sudah lama ada. Biasanya, kami hanya memilah sebatas botol plastik dan kardus lemudian menyerahkannya kepada emak tukang sapu di kompleks yang memanfaatkannya dalam ekonomi sirkular. Tetapi adanya program Recycle for Goods ini membuat keluarga kami—terutama saya dan si anak sulung, lebih bersemangat memilah sampah.
Tetap saja, persoalan sampah plastik ini membuat saya gelisah. Pada suatu hari yang cerah, saya bisa melihat gunungan sampah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang dari sekolah anak saya di pinggir jalan Raya Ciangsana. Padahal jarak sekolah anak saya dan TPA itu mencapai 9 kilometer.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pernah menyebutkan bahwa kapasitas penampungan sampah di Bantar Gebang hampir mencapai volume maksimal. Sampah yang tertampung saat ini sendiri setara dengan ketinggian Gedung 16 lantai. Memilah sampah menjadi upaya kecil yang bisa kita lakukan sambil menunggu keseriusan pemerintah membangun infrastruktur pengelolaan sampah yang berkelanjutan.
Memilah sampah di rumah itu memiliki tantangan yang besar. Dari mengedukasi seluruh anggota keluarga agar memilah sejak awal, mengelompokkan jenis-jenis sampah anorganik, membawanya ke drop point, hingga perlunya membeli tempat sampah 120 liter untuk menampung sampah anorganik sebelum disetor setiap dua atau empat pekan sekali. Yang terakhir itu penting, jika tak ingin rumah terlihat seperti tempat pengepul sampah.
Aplikasi Recycle for Goods di ponsel mencatat bahwa dua kali setoran sampah anorganik saya telah membantu menghemat 1.288 liter air, mencegah pelepasan emisi gas karbon sebesar 158 kilogram ke atmosfer bumi dan menghemat 46 Kwh energi. Di luar itu, saya juga mencegah 10,8 kilogram sampah terbuang ke landfill/dumpsite, yang menambah tinggi gunung sampah di Bantar Gebang.
Tapi ini cerita tahun lalu. Hingga saat ini, saya belum kembali ke drop point di mall tersebut. Membawa sampah dan mengemudikan mobil untuk mengantarnya ternyata butuh upaya yang cukup besar. Sampah plastik yang sudah dipilah tetap menggunung di tempat sampah 120 liter itu. Mungkin kalau program ini juga mengusung konsep ‘jemput bola’ (atau lebih tepatnya jemput sampah), keterlibatan masyarakat akan lebih banyak.
Saya kembali memanggil emak penyapu jalan di kompleks. Dia dengan senang hati mengambil sampah terpilah yang lebih banyak dan lebih bervariasi.
Hari ini saya mengecek kembali aplikasi Recycle for Good. Target seliter susu Diamond yang saya incar tahun lalu belum juga tercapai. Namun, kini aplikasi tak lagi bisa diakses. Apakah program Recycle for Good sudah berakhir? Rasa-rasanya di awal tahun ini, drop point masih beroperasi. Agaknya saya harus kembali mengantar sampah plastic untuk mencari tahu.






Tinggalkan komentar