“Saya ingin Anda merasakan ketakutan yang saya rasakan setiap hari. Dan kemudian saya ingin Anda bertindak.”
KECAMAN itu disampaikan aktivis lingkungan Greta Thunberg di hadapan para pemimpin dunia di Forum Ekonomi Dunia 2019. Dia menyampaikan kecemasannya terhadap kondisi lingkungan yang terus memburuk dan memprotes kelambanan para pemimpin dunia dalam mengambil tindakan.
Greta berbicara dari pengalaman pribadinya. Dia berjuang selama bertahun-tahun melawan depresi yang dipicu oleh perubahan iklim saat ia masih kecil.
Greta bukan satu-satunya; banyak anak muda merasakan dampak psikologis dari ancaman perubahan iklim yang dikenal sebagai eco-anxiety. Dampak psikologis itu bisa berupa serangan panik, insomnia, pemikiran obsesif dan gejala lainnya.
Eco-anxiety adalah kondisi kecemasan, yang diperparah oleh perasaan bahwa generasi sebelumnya tidak melakukan cukup untuk mengatasi masalah iklim. Lise Van Susteren, seorang psikiater umum dan forensik di Washington, DC, Amerika Serikat, menekankan adanya “perasaan ketidakadilan antargenerasi” yang dirasakan oleh banyak anak muda.
“Banyak anak muda yang merasa tidak diakui, dikhianati, dan ditinggalkan,” kata Van Susteren yang mengkhususkan diri terhadap dampak kesehatan mental dari perubahan iklim kepada Harvard Medicine.
Kekhawatiran akibat perubahan iklim tampak dari survei yang dilakukan Caroline Hickman bersama tim dari Bath University, Inggris. Survei ini melibatkan 10.000 orang berusia 16-25 tahun dari 10 negara, antara lain, Perancis, India, Filipina, Inggris, dan Amerika Serikat.
Hasil survei, yang diterbitkan di jurnal The Lancet pada Oktober 2021, menunjukkan bahwa 84% responden khawatir dengan dampak perubahan iklim, dan 45% merasa sangat cemas dan stres sehingga mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka.
Responden yang paling khawatir adalah mereka yang tinggal di belahan bumi selatan, yang telah mengalami atau menyaksikan langsung dampak krisis iklim, seperti kelaparan, kemiskinan, dan bencana alam.
Kaum muda merasakan kecemasan terhadap dampak iklim dibandingkan orang tua, karena mereka memiliki harapan untuk hidup lebih lama dan akan menghadapi konsekuensi jangka panjang dari krisis iklim. Prediksi krisis iklim membuat mereka menjadi berpandangan suram akan masa depan.
Elizabeth Pinsky, seorang psikiater anak di Amerika Serikat, mencatat bahwa mereka “merasakan kesedihan dalam menghadapi apa yang hilang.”
Sebenarnya, eco-anxiety pun tak hanya dialami oleh kaum muda. Para orang tua pun bisa merasakan kecemasan lingkungan yang sama meski tak merasakan langsung dampaknya terhadap kehidupan mereka. Pinsky merasakan kecemasan muncul ketika dia membaca laporan iklim tahun 2018 dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dalam laporan tersebut, para ilmuwan menyatakan jika emisi gas rumah kaca terus berlanjut, kenaikan permukaan air laut yang disebabkan oleh kenaikan suhu, akan menyebabkan banjir di sekitar garis pantai global. Dampak lainnya menyebabkan kekeringan panjang serta kemiskinan di bagian lain dunia pada 2040.
“Saya langsung teringat pada dua anak saya yang masih kecil,” kata Pinsky. “Saya membayangkan seperti apa dunia ini bagi mereka. Saya mulai menyadari bahwa perubahan ini dapat memengaruhi kehidupan mereka secara mendalam – dan kemungkinan besar akan mempengaruhi kehidupan saya juga.”
Mengelola eco-anxiety ini merupakan tantangan khusus. Pinsky menilai untuk membantu kaum muda menavigasi emosi yang berkaitan dengan iklim harus dimulai dengan mengakui keabsahan atau memvalidasi ketakutan mereka.
Kadar tiap orang mengelola anxiety memang berbeda-beda. Beberapa orang dapat mengelola eco-anxiety tanpa harus menjadi depresi. Sementara yang lain mungkin menjadi semakin gelisah dan panik, , atau bahkan mengalami kelumpuhan emosional. Reaksi ini bisa bertambah buruk bila seseorang sudah mengalami gangguan kesehatan mental.
Namun, kecemasan lingkungan tidak harus selalu dipandang negatif. Jika diatasi dengan baik, kecemasan ini dapat menjadi dorongan konstruktif. Seperti yang dikatakan Pinsky, “Kecemasan lingkungan merupakan emosi konstruktif yang memberi kita waktu untuk bereaksi dalam menghadapi bahaya. Dan kecemasan dalam menghadapi perubahan iklim adalah respons yang sehat terhadap ancaman yang nyata.”
Kecemasan terhadap kondisi lingkungan bisa sebagai pijakan awal menumbuhkan kepedulian terhadap lingkungan. Ketika orang menemukan makna dari apa yang mereka lakukan, mereka akan merasa lebih berdaya mengambil tindakan, untuk mencegah bencana terjadi. Dengan mengakui dan mengatasi eco-anxiety, kita dapat membangun masa depan yang lebih berkelanjutan dan sehat bagi semua generasi.***






Tinggalkan komentar