SEJAK pekan lalu, enam gunung di Indonesia berdentum silih berganti. Mulanya, Gunung Ruang di Kepulauan Sitaro, Sulawesi Utara, meletus pada Selasa malam (16/4/2024). Esoknya, tinggi kolom erupsi sudah mencapai 3.000 meter di atas puncak. Erupsi ini bukan hanya menyebabkan penduduk 10 desa mengungsi, peringatan dini tsunami sempat diumumkan dan hingga hari ini bandara Sam Ratulangi di Manado masih ditutup.
Sebelum Gunung Ruang, Gunung Ibu lebih dulu meletus, disusul Gunung Dukono yang tak jauh dari Gunung Ibu. Kedua gunung ini berlokasi di pulau Halmahera, Maluku Utara. Di Rabu yang sama, Gunung Ili Lewotolok di Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur juga meletus.
Ini belum semuanya. Gunung Marapi di Sumatera Barat yang sempat erupsi besar pada akhir tahun lalu, kembali meletus pada kamis pekan lalu, diikuti oleh Gunung Semeru di Jawa Timur, keesokan harinya. Hingga Ahad, 21 April kemarin, enam gunung ini masih melepaskan erupsi-erupsi kecil.

Aktivitas vulkanik dan erupsi memiliki dampak terhadap iklim. Erupsi gunung berapi tidak hanya melepaskan abu vulkanik, tetapi juga gas. Ketika erupsi melontarkan gas CO2, kondisi ini berpotensi memberikan efek rumah kaca. Panas yang masuk ke bumi, tertahan dan tidak bisa keluar lagi sehingga terjadi pemanasan global.
Namun, ketika SO2 yang dilepaskan yang terjadi justru sebaliknya. Gas sulfur dioksida menjadi semacam payung, sehingga panas dari matahari tidak bisa masuk. Dampaknya, suhu bumi bisa turun hingga beberapa tahun kemudian. Ini dikenal dengan istilah cooling down (pendinginan suhu permukaan bumi).
Selama 100 tahun terakhir, pendinginan suhu bumi pernah terjadi akibat letusan gunung Pinatubo di Filipina pada 1991. Letusan itu melepaskan sulfur dioksida sekitar 20 juta ton ke stratosfer. Selama 15 bulan berikutnya, suhu bumi turun 0,6 derajat celcius (1,6°F).
Erupsi bersejarah seperti letusan Krakatau pada tahun 1883 dan Tambora pada tahun 1815 mempunyai dampak iklim yang lebih parah. Gillen D’Arcy Wood, dalam bukunya Tambora: The Eruption That Changed the World (2014) membahas perubahan iklim selama tiga tahun yang terjadi usai erupsi Tambora.
Letusan itu menyebabkan suhu global turun rata-rata rata-rata 1,3C. Erupsi juga menyebabkan perubahan pola cuaca secara drastis. Akibatnya, terjadi gagal panen dan bencana kelaparan meluas di berbagai benua. Dari erupsi itu, kata Wood dalam bukunya, diperkirakan kematian mencapai satu juta jiwa. Belum termasuk Pandemi Kolera yang terjadi setelahnya.
Erupsi Krakatau dan Tambora bukan yang terburuk. Letusan gunung berapi di Islandia pada 536 disebut-sebut menjadikan bumi, “tahun terburuk untuk hidup” (the worst year to be alive). Sejarawan Harvard University, Michael McCormick menyebut tahun tersebut sebagai, “awal dari salah satu periode terburuk dalam hidup, bahkan tahun terburuk,” katanya kepada Science.
Dampak letusan itu menyebabkan kabut misterius dan kegelapan baik siang maupun malam, di Eropa, Timur Tengah, dan sebagian Asia selama 18 bulan. Procopius, seorang sejarawan Bizantium, menggambarkan selama setahun, matahari terlihat redup dan kurang terang.
Berbagai cataran kuno menunjukkan bahwa suhu musim panas pada tahun itu turun secara signifikan, menyebabkan dekade terdingin dalam lebih dari dua milenia. Pada periode itu juga terjadi pola cuaca yang tidak biasa, termasuk hujan salju musim panas di Tiongkok.
Letusan dan kekacayan pola cuaca itu juga menyebabkan kegagalan panen yang meluas, dan bencana kelaparan terjadi selama tahun-tahun selanjutnya. Kronik Irlandia mencatat “kegagalan roti”pada 536-539. Efek beruntun terjadi di Romawi Timur dengan kemunculan penyakit pes yang memusnahkan hampir setengah populasi kekaisaran pada 541. Sejarah mencatatnya sebagai “wabah Justinian.”
Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) menekankan bahwa peningkatan emisi akibat letusan gunung berapa seukuran Pinatubo misalnya, besarnya sama dengan emisi CO2 selama dua hari. Sehingga, kontribusi manusia menghasilkan emisi karbon bisa jadi lebih besar dari 100 kali kombinasi erupsi semua gunung berapi di bumi.
Peningkatan emisi CO2 akibat letusan gunung berapi paling besar kemungkinan dihasilkan oleh erupsi gunung berapi super (supervolcano). Contohnya, Yellowstone (Amerika Serikat) atau Gunung Toba (Indonesia). Gunung Toba yang kini berada di bawah Pulau Samosir dan Danau Toba di Sumatera Utara diperkirakan meletus setiap 100 ribu tahun sekali.
Lalu apakah dampak dari letusan enam gunung berapi secara beruntun di Indonesia itu akan berdampak terhadap iklim?
Perlu diingat bahwa gas yang dilepaskan akibat letusan gunung berapi ke udara hanya berdampak terhadap iklim jika mencapai lapisan stratosfer. Lapisan stratosfer terbawah memiliki ketinggian 10 kilometer dari atas permukaan tanah pada garis lintang tengah.
Pemanasan global ataupun pendinginan suhu bumi akibat gunung berapi hanya berdampak, ketika gas karbon dioksida maupun sulfur dioksida yang dilontarkan bertahan di stratosfer kemudian bergerak sepanjang garis khatulistiwa dan menyebar ke arah kutub. Sehingga untuk mengetahui dampak dari letusan enam gunung tersebut membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Yang jelas, NASA menjelaskan bahwa total emisi CO2 tahunan dari aktivitas manusia setara dengan satu atau lebih erupsi besar dari gunung-gunung berapi super (supervolcanoes). Aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil untuk energi maupun industri, deforestasi untuk pembangunan, pembakaran untuk membuka lahan, berkontribusi lebih besar terhadap pemanasan global dan perubahan iklim.***






Tinggalkan komentar