SAMPAH plastik menjadi perhatian global. Pada perayaan Hari Bumi tahun ini, delegasi dari penjuru dunia berkumpul di Ottawa, Kanada, untuk merancang instrumen internasional yang mengikat secara hukum mengenai polusi plastik.
Ada tiga agenda besar lainnya yang turut dibahas dalam pertemuan 23-29 April 2024, yaitu: upaya mengakhiri polusi plastik di lautan; pendekatan terhadap peningkatan kapasitas, pembiayaan dan mekanisme keuangan yang berkelanjutan; dan upaya membangun transisi berkeadilan.
Agenda ini merupakan tindak lanjut dari pertemuan awal di Nairobi, Kenya, pada 2022. Pertemuan Nairobi dua tahun lalu itu mencetak sejarah baru bagi komitmen global untuk mengatasi limbah plastik di seluruh dunia. Dalam sidang lingkungan hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kelima yang berlangsung pada 28 Februari hingga 2 Maret 2022 , delegasi dari 173 negara bersepakat untuk merancang sebuah perjanjian internasional khusus mengenai penanganan limbah plastik yang mengikat secara hukum.
Mengutip UN Environment Program (UNEP), resolusi dalam pertemuan Nairobi tersebut akan mencakup penanganan keseluruhan siklus hidup plastik, mulai dari produksi, desain hingga pembuangan dan pengelolaan limbahnya. Hasil sidang di Nairobi itu disebut-sebut sebagai salah satu resolusi terpenting di abad ini untuk menanggulangi krisis iklim, yang mengakibatkan pemanasan global, setelah Perjanjian Paris atau Paris Agreement.
Direktur Eksekutif UNEP Inger Andersen menyebutkan resolusi ini menandai kemenangan planet bumi terhadap plastik sekali pakai. “Ini adalah perjanjian multilateral lingkungan hidup yang paling signifikan sejak Perjanjian Paris,” kata dia. Menurut Andersen, resolusi ini serupa dengan polis asuransi bagi generasi sekarang dan masa depan agar dapat mengelola plastik dengan baik, memanfaatkannya dengan bijak, agar tidak mendapatkan musibah lebih besar karena penggunaan plastik tersebut.
Presiden UN Environment Assembly (UNEA) sekaligus Menteri Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia Espen Barth Eide mengatakan, polusi plastik telah berkembang menjadi epidemi. “Dengan resolusi hari ini, di tengah gejolak geopolitik yang terjadi, kami secara resmi berada di jalur yang tepat untuk mencapai penanganan terbaik,” kata dia. Saat itu, ia mengatakan, konvensi atau traktat khusus untuk penanganan plastik ditargetkan akan selesai pada 2024.
Salah satu isi resolusi yang paling penting, berdasarkan tiga rancangan resolusi awal dari berbagai negara, adalah membentuk Komite Perundingan Antarpemerintah (INC). Komite ini akan mulai bekerja pada 2022 dengan ambisi menyelesaikan rancangan perjanjian global yang mengikat secara hukum pada akhir tahun 2024.
Resolusi tersebut diharapkan dapat menyajikan instrumen yang mengikat secara hukum, yang akan mencerminkan beragam alternatif untuk mengatasi seluruh siklus hidup plastik, merancang produk dan bahan yang dapat digunakan kembali dan didaur ulang, dan perlunya peningkatan kolaborasi internasional untuk memfasilitasi akses terhadap teknologi, peningkatan kapasitas dan kerja sama ilmiah dan teknis.
Bayang-bayang Polusi Plastik di Masa Depan
Menurut catatan UNEP, produksi plastik global melonjak dari dua juta ton pada periode 1950-an, menjadi 213 juta ton pada 2010 dan terus melonjak menjadi 459,75 juta ton pada 2019. Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dalam laporannya pada 2022 memproyeksikan produksi plastik yang akan terus meningkat pada 2030 mencapai 589, 06 juta ton. Jika tak ada upaya penghentian atau berjalan seperti business as usual, produksi plastik global akan melonjak menjadi 1.230 juta ton pada 2060 kelak.
Padahal menurut analisis OECD, hanya sembilan persen limbah plastik yang didaur ulang secara global. Dari keseluruhan jumlah limbah plastik yang dikumpulkan untuk didaur ulang, hanya 15 persen saja yang benar-benar dapat didaur ulang, sedangkan 40 persen sisanya merupakan residu yang tidak dapat dikelola sama sekali.
Dengan semakin meningkatnya produksi plastik dan upaya daur ulang yang minim, limbah plastik menjadi serupa bom waktu. Menurut OECD dalam Global Plastic Outlook: 2060, limbah plastik global akan meningkat dari sekitar 353 juta ton pada 2019, menjadi 1,014 miliar ton pada 2060.
Kebocoran Limbah Plastik di Lautan Indonesia
OECD memproyeksikan, apabila tak ada upaya yang progresif bagi negara-negara dunia untuk memperbaiki pengelolaan limbah plastik, jumlah limbah plastik yang tak dikelola diproyeksikan meningkat menjadi 270 juta ton pada 2060 mendatang. Negara-negara di Asia dan Afrika diperkirakan menjadi penyumbang terbesar angka tersebut.
Dari jumlah tersebut, sekitar 44 juta ton di antaranya diproyeksikan akan bocor ke lingkungan dan menjadi sumber pencemar ekologi. Akibatnya, akumulasi limbah plastik di perairan akan meningkat menjadi 493 juta ton pada 2060 atau meningkat tiga kali lipat dari angka pada 2019.
Di Indonesia, menurut catatan Tim Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut mencatat capaian penanganan sampah laut di Indonesia hingga saat ini mencapai angka 35,36 persen. Angka ini masih jauh dari target 2025 sebesar 70 persen.
Meski begitu, upaya yang dilakukan efektif menangani timbulan sampah plastik di lautan. Ini terlihat dari penurunan jumlah limbah plastik menurut catatan TKNPSL seperti grafik di bawah ini:
Menurut data tersebut, sumber pencemar utama berasal dari kebocoran sampah plastik dari aktivitas manusia di daratan. Berdasarkan data 2022, sebanyak 77,80 persen limbah plastik atau sekitar 309.625,52 ton dari 398.000,15 ton timbulan limbah plastik di lautan, merupakan timbulan dari daratan. Dari data itu, hanya 22,2 persen atau 88.374,63 ton yang berdasarkan dari aktivitas manusia di lautan.
Riset dari The Ocean Cleanup yang dipublikasikan di Science Advances pada 2021 menunjukkan Indonesia merupakan penyumbang kelima terbesar limbah plastik di lautan. Para periset mencatat produksi timbulan limbah plastik tahunan di Indonesia sebesar 820 ribu ton, diperkirakan 56 ribu ton di antaranya mengalir ke lautan lepas.
Riset sebelumnya pada 2015 yang dilakukan oleh sejumlah periset dari National University of Singapore, bekerja sama dengan Asia Pacific Centre of Environmental Law menempatkan Indonesia sebagai negara penyumbang kedua terbesar sampah plastik di lautan setelah Cina. Dalam riset yang dipublikasikan di Chinese Journal of Environmental Law itu disebutkan limbah plastik di lautan Indonesia sebanyak 1,2 juta ton.
Riset tersebut selaras dengan penelitian yang dilakukan Jenna R Jambeck et al, ‘Plastic Waste Inputs from Land to the Ocean’, yang dipublikasikan pada 2015 di jurnal Science.

Menagih Komitmen Pengurangan Limbah Plastik dari Hulu secara Progresif
Indonesia memiliki seperangkat regulasi untuk mencegah timbulan limbah plastik dari hulu, salah satunya adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.75/menlhk/setjen/kum.1/10/2019 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Regulasi ini mendesak produsen untuk membuat peta jalan yang memungkinkan industri mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dan memanjangkan siklus hidup kemasan plastik melalui serangkaian upaya daur ulang.
Dalam aturan itu disebutkan target pengurangan sampah oleh produsen adalah sebesar 30 persen dengan target waktu pencapaian pada 2029. Subjek hukum dari regulasi tersebut adalah pelaku usaha di bidang manufaktur, ritel, dan jasa makanan dan minuman.
Namun sayangnya, menurut Direktur Pengendalian Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Novrizal Tahar, aturan tersebut tidak bersifat wajib dipatuhi oleh para industri di Indonesia. Tidak ada paksaan dan sanksi hukum yang diberlakukan bagi industri yang tidak memiliki peta jalan tersebut dan tidak menyerahkan peta jalan tersebut ke pemerintah melalui KLHK. Peraturan menteri itu hanya mengatur tentang insentif dan disinsentif kepada produsen.
Pemberian insentif atau disinsentif, sesuai dengan aturan tersebut, diserahkan kepada menteri, gubernur, dan bupati atau wali kota. Pemberian insentif dapat berupa penghargaan, publikasi penilaian kinerja baik, atau bentuk lainnya yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan peraturan perundang-undangan. Sementara itu, pemberian disinsentif yang disebutkan dalam peraturan adalah pulikasi penilaian kinerja tidak baik.
Komitmen delegasi Indonesia untuk mengurangi timbulan sampah plastik sejak dari hulu dipertanyakan dengan kehadiran empat orang anggota delegasi yang berasal dari industri plastik seperti dari Chandra Asri Petrochemical(CAP) dan Greenhope. Menurut analisis cepat dari Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI), kehadiran perwakilan yang berlatar belakang produsen plastik tersebut dapat memperlemah posisi Indonesia dalam negosiasi terkait dengan pembatasan produksi plastik.
Yuyun Ismawati, Senior Advisor Nexus3, mengatakan keterlibatan industri dalam ruang negosiasi perjanjian internasional tentang plastik menunjukkan adanya konflik kepentingan pemerintah dalam mencapai perjanjian yang kuat dan mengikat. “Posisi pemerintah Indonesia, dalam mengambil keputusan negosiasi terkait penghapusan bahan bahan kimia berbahaya aditif plastik penyebab masalah kesehatan publik, menjadi lemah,” kata dia.
Menurut Juru Kampanye Polusi dan Perkotaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Abdul Ghofar, para negosiator harus belajar dari Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Pengendalian Tembakau yang berhasil menghalangi kepentingan komersial dan keterlibatan industri tembakau dalam proses negosiasi.
Tak hanya mengecam keterlibatan industri plastik dan industri kimia dalam delegasi, AZWI mendesak empat orang tersebut dikeluarkan dari perwakilan delegasi Indonesia. Aliansi ini juga mendesak keikutsertaan wakil dari Kementerian Kesehatan, Kementerian Ketenagakerjaan, dan perwakilan saintis di dalam degelasi Indonesia.***






Tinggalkan komentar