Celana jeans bukan sekedar pakaian, ia adalah simbol budaya pop. Ia mode sepanjang masa, dipakai orang-orang beragam usia dari berbagai kelas sosial. Ia tidak hanya dipakai remaja, tetapi juga anak-anak hingga orang dewasa. Ia tidak hanya dipakai untuk aktivitas sehari-hari, tetapi juga dipakai para sosialita dalam acara-acara eksklusif.
Tapi penelitian terbaru menyebutkan bahwa celana jeans—khususnya produksi industri fast fashion (mode cepat) memiliki jejak karbon lebih tinggi 11 kali lipat dibandingkan dengan celana produksi tradisional.
Riset berjudul “Jejak Karbon dari Konsumsi Fast Fashion-Studi Kasus Jeans,” yang diterbitkan dalam jurnal Science of the Total Environment itu menunjukkan bahwa pemakaian celana jeans produksi fast fashion memiliki jejak karbon sebesar 2,5 kilogram setara karbon dioksida. Volume jejak karbon itu setara dengan pemakaian mobil berbahan bakar bensin untuk menempuh jarak 10,2 kilometer,
Jejak karbon celana jeans ini sebanyak 91% berasal dari transportasi lintas negara mengguakan beragam moda transportasi dan kargo. Sementara sisanya berasal dari proses produksi jeans.
Proses produksi jeans melibatkan pewarnaan, pencucian untuk memberikan efek visual pada bahan denim. Proses ini membutuhkan banyak air. Fashion Insiders menyebutkan bahwa untuk menghasilkan satu potong celana jeans, air yang digunakan bisa mencapai 11 ribu liter.
Itu belum termasuk bahan kimia yang dilibatkan. Limbah produksi jeans dapat mencemari sungai dan laut bila tidak diolah lebih dulu. Ecowatch menulis bahwa sekitar 70% dari perairan Asia tercemar akibat limbah produksi jeansa. Air sungai Pearl di Cina bahkan berubah warna menjadi biru karena limbah bahan kimia produksi denim.
“Negara-negara maju memiliki jejak karbon per kapita konsumsi fast fashion sebesar 53% lebih tinggi dibandingkan negara-negara berkembang,” kata peneliti utama Zhikun Li dalam jurnal yang terbit pada 10 Mei 2024.
Celana jeans pertama kali dibuat pada 1873 oleh Levi Strauss dan Jacob Davis. Celana ini tercipta untuk mengatasi problem celana kerja yang mudah robek. Davis mengatasinya dengan memasang paku logam pada sudut saku dan pangkal kancing. Idenya berhasil dan menjadi mode yang ditiru. Penggunaan bahan denim untuk celana itu membuat celana ini tahan lama.
Popularitas celana jeans membawa produk ini ke dalam industri fast fashion. Fast fashion adalah model bisnis yang menawarkan pakaian yang mengikuti tren terbaru dengan biaya produksi rendah. Ciri-cirinya waktu tunggu yang singkat, produksi massal, dan perputaran inventaris yang cepat.
Peluncuran koleksi fast fashion umumnya 25 kali lebih cepat dibandingkan fashion tradisional sehingga menyebabkan siklus fashion lebih pendek dan hiperkonsumsi. Produksi pakaian mengikuti beragam tren berbeda dalam waktu yang sangat singkat itu dengan cepat menjadi tren pakaian sekali pakai.
Dampak mengerikan dari fast fashion ini bisa dilihat di kota Accra Ghana, tempat tumpukan sampah impor dari Eropa berakhir. Sebanyak 60% dari gunungan sampah tersebut merupakan sampah mode cepat. Hal yang sama juga terjadi di Gurun Atacama, Chili.
Industri fashion berkontribusi terhadap perubahan iklim, atau tepatnya 10% emisi karbon global. Global Fashion Agenda pada 2017 menyebutkan bahwa industry ini diproyeksikan mengeluarkan hampir 2,8 miliar ton emisi karbon dioksida setiap tahunnya pada tahun 2030. Industri fashion juga mengeluarkan sekitar 2,1 miliar ton emisi gas rumah kaca pada tahun 2018, setengahnya dihasilkan oleh fast fashion.
Riset ini memberikan pula tiga strategi mitigasi untuk mencegah jejak karbon yang teramat besar dari produksi jeans mode cepat. Pertama, perdagangan jeans bekas. Peneliti menemukan bahwa praktik thrifting berpotensi mengurangi jejak karbon hingga 90%.
Selain itu bisa pula dilakukan sewa jeans. Aktivitas ekonomi yang berhubungan dengan sewa jeans mampu mengurangi jejak karbon hingga 89%. Terakhir, para peneliti menekankan pentingnya daur ulang jeans.yang bisa menekan jejak karbon hingga 85%.







Tinggalkan komentar