Investasi hijau kini menjadi sorotan di Indonesia dan Asia Tenggara. Sorotan ini muncul seiring meningkatnya kesadaran akan urgensi pentingnya menjaga lingkungan dan mengatasi perubahan iklim,

Investasi hijau adalah strategi investasi yang berfokus pada proyek yang bertujuan meminimalkan kerusakan lingkungan dan mendukung keberlanjutan.

Berdasarkan riset Southeast Asia’s Green Economy 2024 Report, Indonesia menerima investasi hijau hampir US$1,6 miliar (sekitar Rp 25,9 triliun). Nilai ini merupakan yang tertinggi, setara 25 persen dari total aliran modal serupa di Asia Tenggara.

Laporan hasil kolaborasi dari Bain & Company, GenZero, Standard Chartered, dan Temasek, mencatat investasi hijau yang masuk ke Asia Tenggara sepanjang 2023 mencapai US$ 6,3 miliar atau setara Rp 102 triliun. Nilai ini tumbuh sekitar 20 persen dibanding tahun sebelumnya.

Berdasarkan data tersebut, Indonesia sebagai negara yang paling besar meraih investasi hijau. Meski begitu, investasi hijau yang masuk jauh dari kebutuhan dalam negeri. 

Berdasarkan catatan Kementerian PPN/Bappenas nilai investasi hijau yang dibutuhkan rata-rata sebesar Rp 2.377 triliun per tahun hingga 2045. Kebutuhan investasi ini untuk mengejar target net zero emission atau nol emisi karbon, dimana jumlah emisi karbon yang dilepas ke atmosfer tak melebihi jumlah emisi yang diserap bumi. 

Pentingnya Investasi Hijau Bagi Asia Tenggara

Asia Tenggara memainkan peran penting dalam transisi menuju nol emisi di dunia. Negara di Kawasan ini kaya akan sumber daya alam, memiliki keanekaragaman hayati alami di hutan hujan, hutan bakau, dan lahan gambut.

Namun, Asia Tenggara juga sangat rentan terhadap pemanasan global. Asia memiliki 99 dari 100 kota yang paling berisiko terhadap lingkungan dan hasil panen dapat turun sebanyak 22% pada tahun 2050.

Pemerintah di Asia Tenggara menjanjikan rencana netralitas karbon yang ambisius. Asia Tenggara berkomitmen untuk mengurangi emisi hingga 32% pada 2030. Semakin banyak perusahaan penghasil emisi gas rumah kaca tinggi yang telah menetapkan target nol bersih di enam negara Asia Tenggara.

Mandeknya Investasi Hijau di Asia Tenggara

Otoritas Moneter Singapura (MAS) memperkirakan Kawasan ASEAN membutuhkan investasi hijau senilai US$ 200 miliar atau sekitar Rp 3.189 triliun per tahun hingga 2030. Bila mengacu pada data Bain & Company, kesenjangan realisasi investasi hijau masih sangat tinggi.

Investasi hijau di Asia Tenggara ini, mayoritas berasal dari investor domestik. “Ada lebih banyak investor domestik di kawasan ini, sedangkan investor asing (dari luar Asia Tenggara) konsisten berkurang,” kata Bain & Company dalam laporannya.

Berkebalikan dengan kondisi di Asia Tenggara, triliunan dolar AS mengalir di Amerika dan Eropa untuk investasi di bidang Environmental, Social, and Governance (ESG).

Berdasarkan survei PwC pada 2023, sebanyak 81 persen investor institusional AS dan 83 persen institusi Eropa berencana untuk meningkatkan alokasi dana mereka untuk investasi ESG dalam dua tahun mendatang.

Forbes menyebutkan, pesatnya investasi hijau di negara-negara Barat karena mereka lebih cepat mengadopsi isu-isu ni dalam peraturan dan iklim usaha. Sedangkan, adopsi ESG di Asia masih dalam tahap awal.

Meski kini para perusahaan di Asia menganggap penting isu ESG, tapi mereka masih kewalahan dalam menurunkan ke hal-hal teknis. Survei Corporate Governance and ESG oleh AON pada 2023 mencatat 58 persen perusahaan di Asia-Pasifik menyatakan ESG sebagai poin kritis yang akan menentukan keberlangsungan perusahaan dalam jangka Panjang. Namun, hanya 29 persen dari responden yang mengembangkan KPI untuk kinerja ESG.

Ketertinggalan negara-negara dalam mengadopsi ESG ini memberikan kerugian signifikan. Salah satunya, negara-negara di Eropa memberlakukan persyaratan untuk mengaudit rantai pasokan global.

Praktik lingkungan yang buruk dapat menyebabkan hilangnya kontrak-kontrak penting. Inilah yang menyebabkan Indonesia kesulitan ekspor minyak sawit dan bahan baku lainnya.

Regulator di Uni Eropa dan Amerika menerapkan ESG dengan membuat standar dan sistem pemeringkatan yang kompleks. Penting bagi regulator membuat peraturan-peraturan dengan standar yang jelas, detail dan substantif, sehingga menghindari praktik ‘greenwashing’ dimana industri yang tak ramah lingkungan seolah menerapkan praktik ESG.

Untuk memahami greenwashing, bisa simak artikel ini: https://ekosentris.id/2024/04/01/greenwashing-tipu-tipu-korporat-untuk-tampil-hijau/


Eksplorasi konten lain dari Ekosentris.id

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinggalkan komentar

Eksplorasi konten lain dari Ekosentris.id

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca