BULAN Juli hingga September, kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) nampaknya menjadi momok di sejumlah provinsi di pulau Kalimantan. Secara historis, puncak kebakaran hutan dan lahan di wilayah ini meningkat selama tiga bulan tersebut. Itu sebabnya, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menggelar operasi modifikasi cuaca sejak 25 Juni hingga 10 hari kemudian.
Berdasarkan platform Sipongi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sebanyak 111.848 hektare lahan terbakar di Kalimantan Barat pada 2023. “Operasi ini diharapkan agar kejadian serupa tidak terulang,” kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati di Jakarta, Jumat (28/6/2024).
Dalam operasi itu, sebanyak 13 ton bubuk natrium klorida (NaCl) disiapkan untuk disemai di langit Kalimantan Barat dengan target utama kawasan rawan kebakaran hutan yaitu lahan gambut di wilayah Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Sambas, Kabupaten Sintang, Kabupaten Sekadau dan Kabupaten Sanggau.
Kebakaran hutan dan lahan gambut merupakan kontributor emisi karbon atau gas rumah kaca terbesar dari Indonesia. Emisi karbon nasional pada 2005 diperkirakan sebesar 1,8 miliar ton setara CO2 yang berarti tumbuh 400 juta ton setara CO2 dibandingkan tahun 2000. Sebanyak 63% emisi disebabkan olejh perubahan penggunaan lahan dan kebakaran hutan serta lahan gambut. Sebanyak 19% disebabkan oleh pembakaran energi fosil.
Berdasarkan laporan pembaruan dua tahunan pertama (BUR) Indonesia yang disampaikan ke Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC) pada Januari 2016, emisi gas rumah kaca nasional sebesar 1,4 miliar juta ton setara CO2 pada 2012 naik 452 juta ton setara CO2 dari emisi tahun 2000.Lagi-lagi, kebakaran hutan dan lahan gambut (47,8%) menjadi kontributor utama emisi karbon, disusul dari sektor energi (34,9%).
Laporan pembaruan dua tahunan kedua dan ketiga (BUR kedua dan ketiga) tetap menempatkan kebakaran hutan dan lahan sebagai kontributor terbesar emisi karbon dari Indonesia. Pada 2019, emisi yang dilepaskan dari kebakaran gambut mencapai 50,13%, diikuti energi (34,49%), limbah (6,52%) dan proses penggunaan industri dan produk/IPPU (3,15%).
Kebakaran hutan terbesar dalam satu dekade terakhir terjadi pada 2015. Kala itu kabut asap dan penyakit pernafasan tak hanya menerpa penduduk Indonesia, tetapi juga negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Menurut penelitian yang dipublikasikan di Scientific Reports (2016), kebakaran tersebut melepaskan emisi karbon dioksida sebesar 11,3 juta ton per hari pada September-Oktober 2015, melampaui emisi harian yang dihasilkan seluruh penduduk di Uni Eropa sebesar 8,9 juta ton per hati. Sebanyak 77% dari emisi karbon wilayah Asia Tenggara pada 2015 terjadi selama bulan-bulan puncak kebakaran tersebut.
Sektor kehutanan merupakan sektor utama yang ditargetkan untuk mengurangi (bahkan menyerap) emisi karbon melalui target FOLU Net Sink 2030. FOLU adalah forestry and land use. Sementara net sink adalah emisi negatif. FOLU net sink 2030 artinya sektor kehutanam dan pengunaan lahan akan menyerap emisi lebih banyak dari yang dilepaskannya.
Indonesia menargetkan bukan hanya pengurangan tetapi penyerapan emisi hingga 140 juta ton setara CO2 pada 2030. Pengurangan dan penyerapan emisi dari sektor FOLU hanya bisa dilakukan jika Indonesia berhasil mencegah kebakaran hutan dan lahan gambut, mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, meningkatkan kapasitas penyerapan karbon hutan alam dan sistem lahan. Termasuk pula penegakan hukum.
Sebab, penyebab kebakaran hutan dan lahan gambut terbesar di Indonesia, bukan cuaca panas yang memudahkan kayu dan ranting terbakar melainkan pembukaan lahan dengan cara dibakar. Operasi modifikasi cuaca hanyalah sebagian langkah pencegahan kebakaran dari faktor suhu dan temperatur.***





Tinggalkan komentar