SUHU panas yang menghempas Saudi Arabia pada musim haji tahun ini memang lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Badan Meteorologi Saudi Arabia mencatat suhu kawasan mencapai titik puncaknya di 51,8C. “Saya tidak tahu tepatnya kapan hari paling panas. Tetapi pada 11 Dzulhijjah, Jumrah Aqobah sempat ditutup. Karena suhunya dianggap terlalu panas dan berbahaya bagi jemaah,” kata Akbar Tri Kurniawan, jemaah haji asal Pamulang, kepada Ekosentris, Senin (1/7/2024)
Pada hari itu, kata Akbar, area Jumrah Aqobah ditutup pada pukul 12.00-16.00. Para jemaah haji harus melempar batu ke jumroh Aqobah sebagai salah satu wajib haji. Tak heran ketika area dibuka kembali, jutaan orang berkumpul, bergerak di tengah suhu tinggi dan kelembapan rendah. “Hawanya seperti masuk ke dek kapal dekat mesin ketika menyeberang Selat Sunda,” kata Akbar menganalogikan kondisi itu. “Jemaah harus bertahan dengan hawa panas itu di tengah keramaian,” katanya.
Akbar tidak melihat ada yang pingsan di tengah keramaian lempar jumroh. Tetapi di trotoar dan pinggiran jalan, banyak jemaah terlihat kelelahan dan mendapat pertolongan dari paramedis. Sebagian besar dari mereka, kata dia, mungkin tidak terselamatkan
Namun, menurut Akbar, kondisi paling menantang pada saat pelaksanaan ibadah haji itu justu terjadi pada 10 Dzulhijjah. “Setelah mabit di Muzdalifah itu paling horor,” kata Akbar.
Akbar berhaji menggunakan visa kunjungan, bukan visa haji. “Haji koboi,” kata dia memberi istilah berhaji menggunakan visa non haji.
Pada tahun ini, pemerintah Arab Saudi menerapkan visa haji alias izin tertulis yang diterbitkan pejabat Kantor Perwakilan Pemerintah Arab Saudi di Indonesia untuk persetujuan memasuki dan melaksanakan ibadah haji. Kuota visa haji terbagi dua untuk jemaah haji reguler melalui Pemerintah Republik Indonesia dan untuk jemaah haji khusus melalui Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK).
Akbar memilih berhaji dengan visa kunjungan karena proses pendaftaran untuk mendapatkan kuota haji reguler terbilang panjang. Annisa Merida, penduduk Jakarta Timur, misalnya, sudah mendaftar haji reguler sejak 2017, “tetapi ketika mendaftar dapat antrian berangkat pada 2034,” kata Annisa.
Di sisi lain, jumlah jemaah dengan visa non haji juga tak sedikit. Bukan hanya dari Indonesia, tetapi dari berbagai negara lainnya.

Sepekan lalu, Menteri Kesehatan Saudi Fahd Al-Jalajel mengumumkan jumlah kematian jemaah haji mencapai 1.301 orang. “Sebanyak 83% di antaranya merupakan jemaah dengan visa non haji yang berjalan jauh di bawah sinar matahari langsung, tanpa tempat berlindung atau kenyamanan yang memadai,” katanya kepada Arabnews. Kuat dugaan, sebagian besar meninggal akibat sengatan panas (heat stroke) dan kelelahan akibat panas (heat exhaustion).
Menurut sang menteri, sistem kesehatan Saudi Arabia menyediakan lebih dari 465.000 layanan perawatan khusus, termasuk 141.000 layanan bagi jemaah yang tidak mendapatkan izin resmi untuk menunaikan ibadah haji
Akbar tidak membenarkan atau menyetujui pernyataan itu. “Menurut saya, kebanyakan yang meninggal sudah lansia, di atas 60 tahun. Ibadah haji ini aktivitasnya berat, apalagi dalam fase siklus musim panas,” kata Akbar berusia 40 pada tahun ini.
Akbar menyebut suhu rata-rata saat melaksanakan ibadah haji antara 42-50C, dengan kelembapan rata-rata sekitar 20-30% di Kota Mekkah dan 6-10% kelembapan di Kota Madinah. Kelembapan yang rendah itu tak membuat jemaah berkeringat. Sebab, air yang menguap dari tubuh sangat tinggi. Sering kali kondisi ini justru membuat jemaah tidak menyadari bahwa kondisi tubuhnya telah memasuki fase kritis.
“Yang terpenting, tubuh dijaga agar terhidrasi,” kata Akbar yang membawa tiga botol air minum yang terus diisi ulang sepanjang ibadah dilaksanakan. “Orang Arab sering sedekah air, jadi sebenarnya air tersedia di banyak tempat.”

Karena menggunakan visa kunjungan, Akbar beberapa kali mendapatkan penolakan ketika hendak wukuf di Arafah pada 9 Dzulhijjah. “Diusir-usirin karena pemeriksaan sebelum wukuf ketat,” katanya. Tetapi, ia dan ribuan “haji koboi” lainnya juga tak lelah mencoba. “Saya selalu mengaku kalau saya pakai visa kunjungan, terakhir mereka (polisi Arab) hanya tertawa dan mengizinkan saya masuk,” katanya.
Setelah itu, kata dia, pemeriksaan sudah tak ada lagi. Di Arafah, jemaah melaksanakan Shalat, banyak berdoa, istighfar dan dzikir. Lalu berpindah dengan bus untuk mabit (bermalam) di Muzdalifah. Pada pagi hari, jemaah pun berpindah ke Mina menggunakan bus.
Akan tetapi, kata Akbar, perjalanan itu macet karena banyaknya bus. Sehingga di tengah jalan, ia memutuskan untuk berjalan kaki menuju Mina. Jaraknya sekitar 8 kilometer. Saat berjalan kaki itulah, kekacauan itu terjadi.
“Banyak jemaah kelaparan. Ada yang menggedor rumah makan. Ada yang berebut makanan. Itu kacau sekali,” kata Akbar. Ia tak turut dalam kekacauan itu dan memilih bergegas ke hotel yang letaknya di ujung kota Mina. “Saya yakin ada makanan di sana,” kata Akbar.
Ternyata dia salah besar. Hari itu jalanan banyak ditutup, sehingga katering susah bergerak mengantarkan makanan di kota Mina. Akibatnya, ia melewatkan hari itu tanpa makan.
Kondisi ini, kata dia, hanya dialami mereka yang beribadah tanpa visa haji. Berbeda dengan jemaah haji reguler—yang tinggal di tenda dekat jumroh dengan pendingin udara selama 3-4 hari di Mina dengan makanan terjamin, jemaah “koboi” seperti dia, harus mencari makanan sendiri dan berjalan kaki bolak balik menempuh jarak 1,5-2 kilometer dari hotel ke area lempar jumroh di ujung kota, di bawah suhu panas yang ekstrem.
“Hotel ini hotel beneran, tetapi memang hanya terisi ketika musim haji,” kata Akbar. Setelah empat hari di Mina, Akbar melanjutkan rukun haji dengan tawaf di Masjidil Haram (Mekkah).
Alvaro Silva dari Badan Meteorologi Dunia (WMO) membenarkan bahwa Timur Tengah mengalami suhu panas yang persisten di permukaan. “Suhu mencapai 50C ini merupakan panas menyengat yang tidak bisa didukung untuk siapa pun yang berada di luar ruangan,” kata Alvaro dalam sebuah wawancara pada akhir Juni lalu. “Bahkan di dalam ruangan dan malam hari, udara tetap panas sehingga perlu didinginkan dan dilembabkan,” kata dia.
Pada Mei 2024 lalu, Journal of Travel Medicine merilis penelitian yang menggunakan data historis Mekkah sejak 1985-2021. Penelitian itu menunjukkan bahwa Mei-September merupakan bulan-bulan terpanas di kota suci umat Islam dengan rata-rata suhu bola kering (menggabungkan temperatur dan kelembapan) bulanan melebihi 34,5C.
Di masa mendatang, tren kenaikan suhu ini sepertinya bakal berlanjut. Laporan terbaru Badan Meteorologi Dunia (WMO) memperkirakan suhu bumi akan memecahkan rekor tertinggi dalam empat tahun ke depan. Suhu permukaan bumi antara 2024-2028 diperkirakan naik antara 1.1°C-1.9°C lebih tinggi dari rata-rata suhu tahun 1850-1900.
Setiap desimal kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi akan menimbulkan ancaman yang makin besar bagi jemaah haji. Penelitian Fahaad Saeed tiga tahun lalu menyimpulkan bahwa jika dunia mampu menahan pemanasan global sesuai target ambisius Perjanjian Paris pada suhu 1,5°C, risiko sengatan panas selama ibadah haji akan tetap naik lima kali lipat. Jika, “suhu rata-rata global naik 2°C, risiko sengatan panas selama ibadah haji akan naik sepuluh kali lipat,” kata dia dalam penelitian itu.
Terlepas dari tingginya ancaman kenaikan suhu dalam pelaksanaan ibadah haji di masa mendatang, ritual sejak 600 tahun lalu ini akan terus berlanjut. Menurut Akbar, jemaah dapat mengantisipasi tantangan berhaji di masa mendatang dengan mempersiapkan diri. “Persiapan bukan hanya secara finansial tetapi juga fisik,” kata Akbar.
Jemaah, kata dia, juga perlu mencari informasi kondisi suhu, kelembapan dan cuaca di berbagai platform. Akbar, misalnya, terinformasi dengan kondisi panas ekstrem, baik tanda-tanda maupun antisipasinya, melalui akun media sosial dari influencer, media Arabnews dan sejenisnya.***







Tinggalkan komentar