Akhir pekan lalu, saya bertandang ke rumah mertua di salah satu kampung besar di Jakarta. Suhu udara bulan September lebih tinggi dari biasanya. Siang itu, mata saya mengernyit. Bukan hanya silau akibat cuaca terang, tapi hawa panas yang terasa membakar.
Saya mengingat kampung ini sebagai kampung yang sejuk dengan pohon-pohon rambutan yang rindang. Kebun sayur masih terawat rapi di lahan samping rumah mertua. Kini, lima belas tahun setelah saya pertama kali menginjakkan kaki di sini, lansekap kampung berubah total. Rumah petak menggantikan kebun sayur dan lahan hijau beralih menjadi klaster perumahan.
Yang tidak berubah di kampung itu adalah kebiasan warlok—alias warga lokal—masih doyan membakar sampah!
Siang yang terik itu membuat emosi saya lebih mudah tersulut melihat tetangga mertua yang membakar sampah di halaman mereka. Suhu panas sudah merajalela, malah membakar sampah. Untung saja, arah angin tidak membuat asap mengarah ke rumah. Kenapa warga sini suka membakar sampah?

Beberapa hari lalu, saya menemukan jawabannya ketika sedang maraton membaca buku-buku tentang sejarah Jakarta. Ternyata, pada zaman VOC, penduduk Batavia justru dianjurkan untuk membakar sampah. Setiap sore, orang-orang yang tinggal di Kota Batavia rutin menyapu daun-daun yang gugur dan membakarnya untuk mengusir nyamuk pembawa malaria. Mirip seperti fogging versi kearifan lokal zaman dulu.
Penelitian oleh PH van der Brug (1997) menjelaskan bahwa malaria adalah penyebab utama kematian di Batavia, terutama setelah tahun 1733. Berjudul Malaria in Batavia in the 18th Century, penelitian itu menyebutkan jumlah kematian di Batavia meningkat hingga 2.000-3.000 karyawan per tahun pada 1733 dan seterusnya. Angka ini naik drastis dibandingkan rata-rata kematian sebelum 1733 yaitu sekitar 500-700 per tahun. Jadi wajar jika orang zaman itu dianjurkan membakar sampah untuk mengusir nyamuk.
Malaria pada masa itu adalah penyakit mematikan. Penyakit infeksi parasit plasmodium ini ditularkan melalui gigitan nyamuk anophles betina. Nyamuk ini menyebar setidaknya tiga kilometer dari tempat berbiaknya di pantai dan rawa kota Batavia lama ke rumah-rumah penduduk sejak petang hingga pagi.
Alasan kesehatan ini yang membuat Gubernur Jenderal HW Daendels memindahkan pusat pemerintahan Batavia. Dari kota lama (Oud Batavia)–kini kawasan sekitar Museum Sejarah Jakarta, ke Weltevreden, sekarang dikenal sebagai Lapangan Banteng. Ini terjadi delapan tahun setelah obat Malaria, Kina ditemukan pada 1820.
Pabrik Kina, Bandoengsche Kinine Fabriek N.V. baru dibangun pada 1896, lebih dari 50 tahun setelah pusat kota Batavia dipindahkan. Pabrik yang dibangun di Pasir Kaliki Bandung ini mengolah kulit pohon kina menjadi obat penyembuhan penyakit malaria.

Tapi, ketika malaria bukan lagi ancaman yang sangat serius di zaman sekarang, kebiasaan membakar sampah masih bertahan. Saya ragu alasan mereka masih membakar sampah adalah untuk mengusir nyamuk. Mungkin lebih karena ingin cepat-cepat “menghilangkan” sampah dari pekarangan.
Inilah yang membuat gaya hidup dan pendidikan zero waste sangat perlu diterapkan.
Saya pernah membahas ini dengan suami saya. “Kenapa ya orang sini suka banget bakar sampah? Padahal kan tidak usah dibakar juga bisa. Hanya ditimbun dan bisa jadi kompos alami,” kata saya. Apalagi, pelaku pembakar sampah itu biasanya justru punya pekarangan yang cukup luas.
Suami saya menjawab, “dulu juga kita begitu kok. Sering menimbun. Tapi kan ada sampah karbon yang enggak bisa terurai, makanya perlu membakar sampah.” Sering pula masayarakat sekitar menggunakan bensin untuk membakar popok sekali pakai. Anda bisa bayangkan bau asapnya kayak gimana berapa banyak partikel kimia yang lepas ke udara?
Justru itru, kata saya, kalau memilah sampah tak perlu membakar. Sampah organik bisa diubah jadi kompos. Sementara sampah plastik, botol, kertas dan kardus bisa dikumpulkan untuk didaur ulang atau jadi bagian dari proses ekonomi sirkular.
Sejak dua tahun terakhir, saya selalu menyediakan dua jenis tong sampah di dalam rumah. Sampah organik—terutama sisa makanan dan ampas olahan makanan, dan sampah lainnya terutama plastik dan kertas. Hanya suami yang masih tidak konsisten memilah sampah.
Ujung-ujungnya saya lagi yang memisahkan sampah sebelum masuk bak sampah anorganik besar di depan rumah. Setiap pekan isi sampah anorganik ini diambil ibu-ibu tukang sapu untuk dijual ke pengepul. Belakangan, minyak jelantah pun mulai saya kumpulkan untuk diantarkan ke sekolah anak saya–yang menerima minyak jelantah untuk biodiesel setiap Jumat.
Tapi untuk mengelola sampah organik, saya belum.
Alasannya mungkin klise. Pekarangan rumah saya yang kecil itu ditumbuhi rumput gajah hijau. Rasa-rasanya membuat beberapa lubang di sana mengurangi estetika fasade. Alasan lainnya, rumput hijau itu tumbuh di atas tanah subur yang kami beli. Aslinya halaman kami itu tanah merah, kalau digali 30 sentimeter saja, yang ditemukan justru puing dan bekas timbunan.

Mungkin saya harus mencoba mengelola sampah organik dengan ember bertumpuk. Tapi, rasanya butuh tekad kuat untuk memulainya. Yang saya bisa lakukan saat ini mungkin mengurangi sampah plastik dan memulai hidup sehat. Tepatnya mengurangi makanan instan berbungkus plastik.
Plastik pembungkus mi instan dan wrap plastik harus menjadi sampah yang dikurangi jika belum bisa ditiadakan. Pasalnya, sampah seperti ini sering kali bocor ke tong sampah organik dan bocor pula ke lingkungan.
Setidaknya jika belum bisa zero waste, saya masih bisa mengurangi sampah dengan mencegah kehadiran sampah baru. Misalnya dengan menyimpan rantang/wadah makanan, tumblr dan kantong belanja di mobil. Jika dalam perjalanan, saya ingin membeli makanan atau ingin ngopi, tak perlu lah saya menambah wadah sekali pakai. Cukup wadah beneran,
Kembali ke soal membakar sampah, ternyata Jakarta punya Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2013 yang mengancam pelaku pembakar sampah dengan denda sampai Rp 500 ribu! Tapi saya ragu tetangga mertua juga akan berhenti membakar sampah jika tahu soal peraturan ini.
Saya juga enggak yakin cerita soal emisi karbon yang dilepaskan dari pembakaran sampah plastik dan bahaya mikroplastik yang bertebangan di udara bisa membuat tetangga tergerak untuk berhenti membakar sampah. Mungkin lebih efektif kalau saya menjelaskan bahaya asap pembakaran bagi kesehatan dan lingkungan.
Sebenarnya akan lebih mudah jika alasan tetangga membakar sampah adalah benar untuk mengusir nyamuk kebon. Nyamuk di kampung itu memang ganas, bisa membuat kulit gatal-gatal meski tertutup celana jeans tebal.
Mengusir nyamuk sebenarnya bisa dengan menanami pekarangan rumah dengan sereh. Wangi batang sereh dapat menjadi solusi alami pengusir nyamuk dan membuat pekarangan Anda indah. Keuntungan lainnya, ibu-ibu enggak perlu repot suruh anak ke warung kalo persediaan sereh di dapur habis. Cukup petik saja.
Kalau tak suka sereh, masih ada pilihan lain pengusir nyamuk: lavender. Tanaman dengan bunga ungu ini punya aroma yang ampuh mengusir nyamuk.






Tinggalkan komentar