DUA insiden besar mengancam kawasan Morowali di Sulawesi Tengah pada Maret 2025. Di pusat industri nikel yang dikenal dengan nama Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), dua bendungan penampung limbah tailing nikel jebol.
Pertama, pada 16 Maret, fasilitas penyimpanan tailing milik PT Huayue Nickel Cobalt jebol dan mencemari Sungai Bahodopi, Morowali. Enam hari kemudian, longsor terjadi pula di fasilitas penyimpanan tailing PT QMB New Energy Material. Tiga pekerja tewas dalam persitiwa itu.
Tailing adalah limbah dari pengolahan limonite—bijih nikel kadar rendah (0,8–1,5%)— yang menggunakan metode High Pressure Acid Leaching (HPAL) di smelter. Metode ini menghasilkan mixed hydroxide precipitate (MHP), bahan baku baterai listrik, material penting dalam transisi energi untuk mitigasi perubahan iklim.
Dalam proses ini, bijih nikel dihancurkan, dipisahkan, dan diambil logamnya. Sisa yang tidak terpakai—berupa lumpur atau bubur padat bercampur air—disebut tailing yang bisa ditandai dengan warna cokelat kemerahan yang khas.

Tetapi untuk mendapatkan 1 ton nikel bernilai ekonomis, limbah tailing yang dihasilkan dari proses HPAL mencapai 110 ton. Komposisi tailing biasanya mengandung pasir halus, mineral sisa, dan bahan kimia dari proses pengolahan, termasuk logam berat seperti nikel, kobalt, arsenik, dan merkuri.
limbah itu juga mengandung bahan kimia berbahaya,seperti asam sulfat yang bersifat korosif dan beracun. Termasuk kromium heksavalen, karsinogen yang dapat menyebabkan penyakit pernapasan dan memicu timbulnya kanker.
Jika fasilitas penyimpanan tailing terus bocor ke lingkungan, dampaknya akan sangat membahayakan. Logam berat dari tailing dapat larut ke sumber air, mencemari lingkungan dan mengganggu kehidupan biota air, juga merusak terumbu karang. Mineral beracun yang terserap ke tanah juga mempengaruhi kesuburan. Logam berat juga dapat terakumulasi di rantai makanan (bioakumulasi), mengancam satwa dan manusia dalam waktu puluhan tahun.

Steven H.Emerman, Ph.D, ahli Geofisika & Hidrologi Tambang dari Amerika Serikat menyebutkan teknologi filtered tailing dengan dry stacked di Indonesia masih berisiko tinggi. Sebab, tailing memiliki kandungan air hingga 35%.
Menurut dia, struktur tanah vulkanik di Indonesia yang cenderung lembek menyebabkan bendungan penampung tailing rentan longsor. “Apalagi di kawasan rawan gempa dan hujan ekstrem seperti Sulawesi,” katanya dalam jumpa pers daring (13/8/2025). Sejumlah fasilitas sudah kolaps, mencemari sungai dan laut. “Standar teknis harus disesuaikan dengan konteks Indonesia.”
Fakta global pun memperkuat kekhawatiran ini. Studi di jurnal Nature mencatat bahwa sejak 1915, telah terjadi 257 kegagalan bendungan tailing di dunia, menewaskan 2.650 orang. Tren kegagalan semakin parah sejak tahun 2000, seiring meningkatnya penambangan bijih nikel berkadar rendah untuk memenuhi kebutuhan transisi energi.
Dalam satu dekade terakhir (2013–2023), produksi nikel Indonesia melonjak 920% dengan semangat hilirisasi industri. Rini Astuti, Peneliti dari Asia Research Center Universitas Indonesia, menggarisbawahi ironi HPAL. “Teknologi ini mengubah bijih nikel kadar rendah menjadi bernilai, tapi dampak lingkungannya sangat besar dan memerlukan tata kelola jauh lebih ketat,” kata Rini dalam kesempatan yang sama.
Rini juga menambahkan, kegagalan fasilitas tailing tidak semata soal aturan teknis. Stabilitas politik, rendahnya tingkat korupsi, kebebasan berpendapat, serta kebijakan perubahan iklim yang realistis dan kontekstual menjadi faktor penentu keberhasilan.

Faktanya, skor korupsi Indonesia pada 2024 menurut Transparancy International hanya sebesar 37 (skala 100 sangat bebas korupsi). Sementara, kebebasan berekspresi menurut Indeks kebebasan pers Reporters Without Borders ada di peringkat 127 dari 180 negara pada 2025.
Saat ini di IMIP terdapat delapan perusahaan yang mengolah nikel menggunakan metode HPAL. Menurut Anto Sangaji, Peneliti Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Indonesia akan memproduksi 472 juta ton nikel bernilai pada 2027. Namun, limbah yang dihasilkannya akan mencapai 70,8 juta ton.
“Sebanyak 20% dari wilayah IMIP akan menjadi kolam untuk fasilitas penyimpanan tailing,” kata Anto. Tingginya kebutuhan tempat untuk menampung limbah tailing ini juga yang dikhawatirkan akan meningkatkan angka deforestasi di Morowali.
Anto juga menyoroti tingginya risiko kecelakaan kerja. Sebagai contoh, pada Desember 2023, ledakan tungku smelter PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS) di kawasan IMIP menewaskan 21 orang. Dua bulan kemudian, insiden pembersihan tungku di lokasi yang sama kembali menewaskan dua pekerja.
Ironi transisi energi terlihat jelas di Morowali. Demi memasok nikel untuk teknologi bersih, Indonesia menanggung risiko lingkungan, kesehatan, dan keselamatan kerja yang besar. Tanpa tata kelola ketat dan standar teknis yang sesuai dengan kondisi geologis dan iklim, ancaman ini akan terus menghantui masyarakat dan ekosistem di sekitar kawasan industri nikel.***







Tinggalkan komentar