DI meja makan orang Indonesia, ada nasi, lauk pauk, sambal, dan… mikroplastik. Angka resmi yang dirilis dari studi X. Zhao dan F. You (2024) menyatakan Indonesia menyerap rata-rata 15 gram mikroplastik per kapita setiap bulan. Itu setara dengan menelan sebuah kartu ATM—bukan sekali, tapi tiga kali dalam sebulan.
Bukan hanya makanan laut yang tercemar. Mikroplastik kini terdeteksi dalam air minum isi ulang, garam dapur, bahkan udara kota yang kita hirup. Penelitian yang dilakukan oleh tim dari Cornell University memetakan konsumsi mikroplastik di 109 negara. Hasilnya, Indonesia bukan sekadar tinggi, melainkan yang tertinggi di dunia.
Temuan ini menempatkan pemerintah Indonesia pada ujian moral. Apakah akan terus melindungi kepentingan industri plastik—atau melindungi rakyatnya sendiri yang kini tubuhnya dipenuhi serpihan racun tak kasat mata.
Plastik, Racun yang Masuk ke Tubuh
“Setiap siklus plastik melepaskan zat kimia yang berperilaku seperti hormon manusia. Ada yang kita hirup, ada yang kita makan, bahkan ada yang masuk lewat kontak kulit,” kata Yuyun Ismawati, pendiri Nexus3 Foundation, dalam diskusi daring LaporIklim (21/08/2025).
Yuyun menyebut polusi plastik tidak bisa dipisahkan dari krisis iklim. Dari bahan bakar fosil plastik diproduksi, dan lewat tubuh manusia serta lingkungan ia kembali meninggalkan jejak beracun.
Sejumlah penelitian medis menunjukkan betapa dalam plastik merasuk. Mikroplastik ditemukan di paru-paru, darah, hingga plasenta bayi. Studi oleh Villarrubia-Gomez et al. (2024) mencatat lebih dari 13.000 bahan kimia berbahaya terkait plastik.
Yuyun juga menyoroti bahwa banyak pigmen, bahan penstabil, dan berbagai macam bahan aditif yang membuat plastik menjadi lembut, kuat, atau elastis. Sebagian di antaranya punya nama yang familiar: BPA (bisphenols), senyawa yang kini sudah ada di hampir seluruh tubuh manusia, Phthalates, disebut everywhere chemicals karena nyaris ada di semua produk plastik, dan PFAS, dikenal sebagai bahan kimia abadi yang nyaris mustahil terurai.
Artinya, tubuh manusia kini bukan hanya tempat hidup bakteri dan sel, melainkan juga tempat pembuangan mikroplastik global.
Mandek di Forum Global: Indonesia Main Aman
Di tingkat global, upaya mengakhiri polusi plastik berjalan tersendat. Sejak 2022, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merundingkan perjanjian internasional tentang plastik. Namun dua putaran terakhir di Busan (2024) dan Geneva (2025) berakhir tanpa konsensus.
“Tarik-menarik kepentingan sangat jelas. Negara produsen minyak menolak pembatasan produksi plastik, sementara negara yang ambisius soal lingkungan menuntut pengurangan drastis,” ujar Ahmad Arif, wartawan Indonesia yang hadir langsung meliput negosiasi tersebut.
Di tengah perdebatan itu, Indonesia memilih sikap moderat. Tidak berpihak tegas pada upaya pembatasan, tapi juga tidak terang-terangan menolak. “Indonesia tampak ragu menentukan sikap, padahal rakyatnya sendiri sudah jadi korban utama,” kata Ahmad.

Plastik = Fosil + Emisi + Racun
Plastik sering dilihat hanya sebagai benda: kantong belanja, botol minum, bungkus makanan. Padahal di baliknya ada rantai panjang yang sarat jejak karbon.
“Plastik sejak awal tak bisa dilepaskan dari bahan bakar fosil,”kata Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif PIKUL. “Mulai dari ekstraksi minyak, penyulingan, produksi, hingga pembakaran limbah, semuanya menyumbang emisi besar. Bahkan ketika terurai pun, plastik menghasilkan metana—gas rumah kaca yang sangat beracun bagi atmosfer.”
Sebuah laporan CIEL (Center for International Environmental Law) memperkirakan emisi karbon dari plastik akan mencapai 1,34 gigaton CO₂ ekuivalen pada 2030, dan bisa berlipat ganda pada 2050 jika tidak ada kebijakan pembatasan. Angka ini setara dengan emisi tahunan seluruh pembangkit listrik batu bara di Asia Tenggara.
Dengan kata lain, plastik bukan sekadar polusi, tapi mesin pemanas iklim bumi. Menurut Torry, solusi plastik harus ditangani dari dua sisi. Di sisi hulu, kita perlu menghentikan ketergantungan industri plastik pada energi fosil. Itu berarti perlu ada keberanian politik untuk melawan lobi industri minyak dan petrokimia.
Sementara di sisi hilir, pola konsumsi masyarakat perlu diubah. Dari hal-hal yang sederhana, mengganti botol plastik sekali pakai dengan tumbler. “Plastik sekali pakai harus ditekan,” katanya. Selain itu, produk ramah lingkungan didorong menjadi arus utama.
Namun, jalan keluar ini terhambat. Industri plastik terlalu kuat dalam mempengaruhi kebijakan. “Kesehatan publik dan lingkungan kerap jadi korban. Tanpa transparansi soal bahan kimia dalam produk, rakyat dibiarkan tidak tahu apa yang sebenarnya mereka hirup dan telan setiap hari,” kata Torry.
Data sudah jelas. Fakta sudah terang. Tubuh orang Indonesia hari ini adalah bukti nyata kegagalan negara melindungi warganya dari ancaman plastik.Selama pemerintah tidak berani tegas, rakyat Indonesia akan terus membayar dengan kesehatan mereka sendiri.***






Tinggalkan komentar