BELUM lama ini, saya bertemu dengan seorang pemuda dari suku Bajau. Suku maritim legendaris yang hidup di atas air dan dikenal akan kemampuan menyelamnya yang luar biasa. Namanya Kasman Amir. Usianya 23 tahun. Namun, kenangan masa kecilnya sudah seperti potongan cerita dari dunia lain.
Ia tumbuh di sebuah rumah panggung di atas laut. Tepatnya, di pesisir barat Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara. Dulu, air di bawah rumahnya begitu jernih, sebening kaca. Saat jarum jahit milik ibunya terjatuh dari lantai kayu rumahnya, ia masih bisa melihatnya menancap di dasar laut yang berpasir.
“Saya lihat dari rumah kami, jarum itu menancap di pasir. Di bawah air, berkilauan terkena sinar matahari,” katanya ketika kami berbincang di Jakarta Pusat, pertengahan Juli lalu.
Laut bukan hanya halaman rumah bagi suku Bajau. Ia adalah ruang bermain, sumber makanan, sumber kehidupan, bahkan bagian dari identitas. Namun, laut itu kini berubah.

Sembilan tahun terakhir, laut di bawah rumah Kasman tak lagi berwarna biru kehijauan. Ia menjadi keruh, cokelat kemerahan dan tak lagi memantulkan cahaya seperti dulu. Hanya dua kilometer dari desanya, tambang nikel berdiri dan menggali pulau kecil seluas 891 kilometer persegi itu.
Pulau Kabaena mungkin tak ada di peta liburan Anda. Dari Jakarta, Anda perlu terbang ke Kendari selama 2,5 jam. Lalu melanjutkan perjalanan darat naik turun gunung ke Pelabuhan Kasipute di Kabupaten Bombana selama 4,5 jam.
Barulah setelah itu Anda bisa menyeberang menggunakan speedboat selama 2,5 jam ke pelabuhan Sikeli di sisi barat pulau Kabaena. Karena lokasinya yang sulit diakses, Kabaena sering luput dari perhatian.
Namun, di tempat-tempat terpencil seperti inilah dunia sedang berubah.
Kabaena adalah salah satu titik awal perkembangan industri nikel Indonesia. Bahan baku utama baterai kendaraan listrik yang katanya menentukan masa depan yang “hijau.” Sejak pertama kali penambangan dibuka pada 2007, kini sebanyak 73% dari luas pulau ini telah dikapling-kapling menjadi konsesi tambang. Nyaris tanpa melibatkan masyarakat yang tinggal di sana.
Dari 30 perusahaan pemegang izin tambang, 16 di antaranya telah aktif berproduksi pada 2024. Banyak tambang dibuka dengan jarak ratusan meter dari rumah warha terdekat. Menurut laporan Satya Bumi, kajian lingkungan tak transparan dan partisipasi warga nyaris nihil.
Di atas kertas, ini bagian dari strategi besar: hilirasi industri dan ambisi menjadi raja baterai listrik dunia. Tapi di lapangan, kenyataannya berbeda.

Menurut para peneliti dari Satya Bumi, limbah dari proses tambang nikel ditampung dalam kolam besar. Kolam ini kerap meluap saat hujan deras. Lumpur merah itu mengalir ke sungai lalu ke laut–merusak ruang hidup orang-orang bajau.
Air yang dulu jernih kini tinggal kenangan. Berenang dan menyelam yang menjadi keseharian orang Bajau kini ditinggalkan. “Air kotor, gatal-gatal jika berenang,” kata Kasman.
Ironisnya, pertumbuhan ekonomi yang dijanjikan tambang tak kunjung tiba. Hanya sekitar 5% penduduk Kabaena yang mendapat pekerjaan di sektor ini. Sisanya, harus menanggung dampak ekonomi, lingkungan hingga kesehatan.
Ayah Kasman, seorang nelayan, kini harus berlayar lebih jauh. Dulu lima kilometer dari rumah, jaring cepat penuh, ayah bisa pulang di hari yang sama. Kini, ia harus melepas sauh 20 kilometer jauhnya dari rumah. Kadang baru pulang setelah lima hari karena jaring tak juga penuh. Biaya meningkat, hasil menurun. Harga ikan jatuh karena daya beli penduduk melemah.
Kondisi ini kontras dengan memori masa kecil Kasman pada suatu malam purnama. Ia duduk di teras belakang rumahnya bersama ibu dan adik perempuannya. Ia melihat cumi-cumi berenang di bawah dek teras belakang rumahnya.
“Saya lempar kail, langsung dapat. Lempar lagi, dapat lagi. Malam itu kami dapat lima kilo cumi, lebih banyak dari hasil tangkapan ayah saya di laut,” katanya. Kini, cumi-cumi tak lagi datang. Laut yang dulu jadi sahabat, kini asing bahkan menakutkan.
Ini tak hanya soal hasil tangkapan. Yayan, nelayan gurita dari desa tetangga, sekarang mengalami gatal-gatal karena laut tercemar. Dulu cukup menyelam 1-2 kilometer dari pantai. Kini harus sampai lima kilometer untuk menemukan gurita.
Di desa Talaga Besar, Sumaryanto, petani rumput laut juga merugi. Rumput laut jenis Katoni tak lagi tumbuh baik. Siklus panen yang dulu sebulan sekali kini menjadi tiga bulan, dengan harga yang anjlok. Dari Rp 30 ribu per kilogram menjadi Rp 3 ribu per kilogram.

Semua ini terjadi di bawah nama besar: transisi energi.
Transisi energi harusnye menjadi solusi atas krisis iklim. Tapi bagi banyak komunitas kecil, transisi ini justru membawa krisis baru—yang lebih dekat, lebih nyata, dan lebih menyakitkan.
Laut yang dulu menjadi halaman rumah, kini jadi ruang asing. Generasi muda seperti Kasman merasa harus pergi, meninggalkan “rumah” yang tak lagi bisa memberi kehidupan.
Kasman adalah satu dari sedikit anak muda di desanya yang berhasil menyelesaikan kuliah. Ia lulus sebagai sarjana Agroteknologi dari Universitas Halu Oleo di Kendari, berkat beasiswa unggulan dari Kemendikbud.
Dulu ia bermimpi pulang setelah lulus, membantu ayahnya yang nelayan dan mengembangkan usaha pertanian kecil-kecilan di tanah pesisir. Tetapi mimpi itu pupus.
Laut yang rusak, tanah yang tercemar, dan ekonomi yang lesu membuat rencana-rencana itu tak punya tempat untuk tumbuh. Lebih pahit lagi, adik perempuannya—yang pernah ia motivasi untuk rajin sekolah—terpaksa putus sekolah sejak kelas 1 SMP karena kendala ekonomi.
Kasman kini tinggal di Kasipute, Kabupaten Bombana. Ia bertekad mendapatkan pekerjaan tahun ini. “Saya tak akan pulang sebelum punya pekerjaan,” katanya.
Bukan karena melupakan kampung halamannya, tapi karena ia tak sanggup kembali hanya untuk menyaksikan apa yang telah hilang.***
REFERENSI
- Wawancara dengan Kasman Amir
- Satyabumi. 2024. Bagaimana Demam Nikel Menghancurkan Pulau Kabaena dan Ruang Hidup Suku Bajau? Diakses 5 Agustus 2025 di https://satyabumi.org/demam-nikel-kabaena-bajau/
- Satyabumi. 2025. Menelusuri Pintu Awal Kerusakan dari Jejaring Politically Exposed Persons Diakses 5 Agustus 2025 di https://satyabumi.org/laporan-kabaena-jilid-2-menelusuri-pintu-awal-kerusakan-dari-jejaring-politically-exposed-persons/
- Muttaqien, Andi. 29 Juli 2025. Bodies crushed by nickel mines, no climate justice in Kabaena. Publikasi The Jakarta Post. Diakses 5 Agutus 2025 di https://www.thejakartapost.com/opinion/2025/07/29/bodies-crushed-by-nickel-mines-no-climate-justice-in-kabaena.html.






Tinggalkan komentar